Lembaga Pers Mahasiswa Fakuktas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta - Bukan Sekedar Wacana


Balada Perseteruan dari Aksi Omnibus Law di Yogyakarta

  

 




            Ditengah pertikaian antara pro dan kontra Omnibus Law yang disahkan DPR-RI Senin silam(05/10/2020), menuai konflik serta perspektif tersendiri. Aksi yang dilakukan di Yogyakarta memunculkan pandangan yang cukup menarik untuk diselami. Kamis (8/10/2020) Yogyakarta, menjadi puncak aksi mahasiswa, buruh, serta elemen masyarakat untuk turun ke jalan.

 Ada dua aksi yang dilakukan, yang pertama Aksi Cipayung plus bersama BEM Nusantara di pertigaan revolusi UIN Sunan kalijaga serta aksi #JogjaMemanggil yang berpusat di sepanjang jalan Malioboro dan menuju gedung DPRD DIY. Pada kedua aksi ini menuntut kejelasan tentang Omnibus Law serta RUU Ciptaker yang menjadi polemik saat ini. Tuntutan pada aksi tersebut jelas menuntut kepada DPR-RI untuk segera mencabut Omnibus Law serta RUU Ciptaker yang terdapat polemik tersendiri.

Pada aksi yang dilakukan di sepanjang jalan Malioboro mengatasnamakan #JogjaMemanggil, kehadiran pada aksi tersebut menuai ricuh. Jurnalis memang tak berada di tempat ketika ricuh pertama yang terjadi karena jurnalis masih meliput pada aksi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, namun jurnalis mewawancarai salah satu peserta seputar pertanyaan-pertanyaan runtutan peristiwa tersebut. Nama saksi dari peserta aksi ditutupi dengan alasan melindungi peserta aksi tersebut. Sebut saja AF yang merupakan salah satu mahasiswa dari universitas swasta yang cukup terkenal.

“Ketika itu aksi yang dilakukan masih damai-damai saja, saya masih sempat mengobrol dengan anggota tentara yang sedang bertugas. Namun pada siang pukul 13.45 kurang lebih katanya ada penembakan gas air mata di gedung DPRD DIY, sehingga membuat riuh dari peserta aksi. Itupun Aku terkena gas air mata, cukup membuat perih mata” AF, Peserta aksi #JogjaMemanggil.

Jurnalis juga bertanya bagaimana bisa membuat kerusakan yang bersifat destruksi, bahkan membakarkan kafe yang berada tepat di samping kantor DPRD DIY tersebut.

“Itu pun yang melakukan bukan dari peserta aksi, namun ketika ricuh sedang berlangsung saya sedikit menepi ke arah parkiran yang dekat rel kereta untuk berlindung. Tetapi selang dari itu penembakan gas air mata kembali di tembakan ke arah parkiran. Sehingga membuat kami membubarkan diri ke arah tugu”.

 



Dari kejelasan tersebut, jurnalis menyimpulkan kericuhan bukan terjadi dari peserta aksi, melainkan dari beberapa oknum yang memanfaatkan kericuhan terjadi, sehingga membuat polemik tersendiri atas kericuhan tersebut. Puing-puing sisa kericuhan berhasil di dokumentasikan. Memang kericuhan yang terjadi, membuat kerugian yang cukup besar.

Pasca aksi ricuh tersebut, Jurnalis mencoba ke lokasi kejadian tentunya dengan melakukan penyamaran berjaket hitam dan memakai sendal sehingga dikira sebagai warga lokal.




 Cukup lama jurnalis berada daerah tersebut, untuk melihat kerusakan, terdapat mobil dari dokpol kepolisian, serta mobil pickup polisi menjadi amukan dari kericuhan aksi tersebut. Jurnalis berbaur dan sedikit wawancara dengan salah satu tukang becak biasa nangkring disana. Dekat arah parkiran rel.

“Sangat disayangkan pemukulan yang sedang berlasung dari aparat polisi, serta sebagian ormas yang bergabung untuk penyisiran peserta aksi. Yoo orang itu juga manusia, iya aksi tersebut membuat rusuh tetapi belum tentu kan mereka yang membuat kerusuhan tersebut”.

Memang ketika jurnalis melihat sekitar, pasca kerusuhan yang terjadi pihak kepolisian bersama beberapa sekelompok ormas melakukan penyisiran ke arah pos polisi sebelum masuk ke malioboro. Tentunya tindakan aparat bersama kelompok masyarakat ini untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang dicurigai sebagai peserta aksi yang membuat ricuh.

 


 

Kerusakan pasca kerusuhan aksi #JogjaMemanggil ini cukup serius karena pedagang kaki lima di sepanjang jalan malioboro juga merasakan dampak pasca aksi. Memang aksi ini menghasilkan kerusuhan tetapi pelaku yang membuat kerusuhan belum tentu dari peserta aksi, mahasiswa, buruh maupun pelajar. Dan juga tak bisa dipukul sama ratakan dalam tindakan, sehingga itu membuat ketakutan tersendiri atas aksi yang dilakukan selanjutnya. Seolah-olah membuat ketakutan untuk menyuarakan aspirasi, padahal masyarakat hidup di negara demokrasi seperti ini.

Aksi #JogjaMemanggil dibuat ricuh seperti ini tentunya ada pihak yang sengaja menunggangi aksi ini untuk kepentingan sementara. Padahal dari beberapa kesaksian peserta aksi tentunya bisa di investigasi oleh pihak yang berwenang. Jurnalis menduga gerakan seperti ini dilakukan oleh pihak anarko yang sengaja melakukan hal-hal destruktif terhadap aksi. Tidak hanya di Yogyakarta beberapa tempat lainnya seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan tempat yang mengalami kerusuhan menjadi pola yang sama atas kejadian aksi tersebut. Pihak-pihak ini lah yang bertanggung jawab atas ricuh nya aksi yang terjadi.

(Jurnalis/CCKJMPG)

Posting Komentar

0 Komentar