Sering kita jumpai hampir di setiap daerah bahkan di setiap rumah, ada seekor burung yang dipelihara dan dikurung dalam sangkar. Rasa kecintaan terhadap burung peliharaan membuat orang rela mengorbankan uang dan waktu mereka hanya untuk memfasilitasi burung mereka. Mulai dari membeli sangkar, yang tak jarang harganya melebihi harga burung yang dipelihara, menyediakan pakan, bahkan memandikan burung kesayangannya. Tak jarang kita temui, saking sayangnya terhadap burung kecintaannya, seseorang tidak akan menjualnya walaupun ditawar jutaan hingga milyaran rupiah. .
Kicauan serta keindahan bulu dari burung
itulah yang mendorong seseorang tega mengurungnya, membiarkan si
burung hidup dalam sangkar sempit, dan
merampas kebebasan dari si burung. Peduli setan dengan hidup si
burung, yang terpenting mereka bisa menikmati
kicauan serta keindahan dari bulu si burung. Apakah hal tersebut mencerminkan
kasih sayang sesama makhluk hidup? Atau
hanya sekedar melampiaskan keegoisan manusia?
Miskonsepsi dalam membedakan arti “egois dan kasih sayang” inilah yang menjadi akar permasalahan dari
awal kehancuran sebuah bangsa. Bagaimana bisa?
jika seekor burung yang
diciptakan dengan sepasang sayap dipaksa bertengger pada sebatang kayu didalam
sangkar yang sempit dan membuatnya hampir tak mampu bergerak
bebas, maka jelas
itu dinamakan egois.
Hal yang sama juga terjadi
pada fenomena orang tua
yang selalu memaksakan kehendak terhadap apapun yang berhubungan dengan anaknya. Dengan dalih kasih sayang, sering kali
orang tua memilihkan apa yang menurut mereka baik
untuk anaknya, namun belum tentu cocok
dengan passion
anak tersebut. Misal saja pemilihan
sekolah, tak jarang orangtua
memilihkan sekolah mana ataupun jurusan
apa yang akan dimasuki anaknya. Hal tersebut tentunya akan membatasi keinginan
anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Setiap anak mempunyai bakat dan
minat yang berbeda dan manakala anak dipaksakan menyukai hal yang sebenarnya
tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka yang terjadi adalah perbuatan yang
dilakukan hanya dengan setengah hati.
Fenomena
tersebut dibilang lumrah dalam hidup bermasyarakat dewasa ini.
Padahal, hal semacam itulah yang
mengakibatkan sikap
kritis dan kreatif generasi muda semakin menurun. Bagaimana tidak,
sikap kreatif dari anak yang itu sesuai dengan minat dan bakat mereka terkekang
oleh kehendak orang lain. Hal tersebut membuat anak tidak leluasa dalam
berkreasi serta menumpulkan daya kritis mereka.
0 Komentar
Silahkan Kirim Tulisan Anda Baik Berupa Artikel, Opini, Cerpen, Dll ke
Email : lpmmetamorfos19@gmail.com