Dress Putih
Oleh: Shafa Shabira
Namaku Maisya. Teman-temanku memanggilku Isya, konon kata Bapak dulu aku memang dilahirkan sewaktu azan isya. Nama tengahku tidak ada, nama belakangku juga tidak ada, yang ada hanyalah Maisya. Bapakku bekerja sebagai buruh tambang di pertambangan timah di dekat pantai. Bapak berangkat pagi-pagi setiap hari dan kembali ke rumah tepat ketika azan magrib berkumandang. Ketika pulang, bapak biasanya membawakanku buah-buahan yang dipetiknya dari kebun milik saudara, tentunya sudah atas izinnya.
Ibuku sudah tiada sejak aku berumur lima tahun. Setelah kepergian Nenek, Ibu menderita suatu penyakit yang disebut sebagian orang sebagai penyakit rindu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan sebab rasa kehilangan yang sangat mendalam. Aku yang pada saat itu masih berada di Taman Kanak-Kanak diungsikan ke rumah saudara karena tidak ada yang merawatku di rumah. Ketika Ibu pergi, aku juga merasakan kehilangan yang sangat. Namun itu tak mengapa, Bu Made tetanggaku menguatkanku, “Semua orang di dunia ini ketika sudah waktunya pasti akan meninggal. Maka jangan bersedih terlalu lama, tetapi doakan ibumu, Maisya.”
Waktu dengan cepat berlalu, kini aku telah berumur sembilan belas tahun dan sedang menempuh tahun keduaku di universitas. Aku mengambil jurusan teknik sipil dengan harap bisa memperoleh ilmu dan mengembangkan desaku yang tertinggal dalam pembangunan. Bapak masih bekerja di pertambangan timah itu, namun sekarang sudah naik jabatan menjadi pegawai tetap di divisi perizinan pertambangan. Kini semakin jelas guratan keriput di wajah Bapak yang teduh, wajah yang selalu menyambutku dengan senyum setiap kali aku pulang ke rumah untuk merayakan hari raya.
Persis seperti wajahnya sekarang–aku sedang pulang ke rumah dalam rangka liburan semester–yang tampak berseri-seri dan merentangkan tangan hangatnya untuk memelukku. Aku menyambut pelukannya dengan erat. Kami saling mengusap punggung dan menanyakan kabar masing-masing. Bapak bilang–yang membuat pipiku diam-diam bersemburat merah–kalau aku semakin cantik saja dari kali terakhir bertemu, aku tersenyum seraya menggelengkan kepala dan memasuki rumah.
Rumah masih tampak seperti enam bulan lalu ketika aku
merayakan hari raya di sini. Perabot kayu yang bersih dan sunyi, kasur yang berseprai putih polos, jendela yang
menghadap ke lautan, aah akhirnya aku kembali
ke rumah, Bu. Kupandangi
satu-satunya bingkai foto yang ada di ruang tengah, di sana terselip sebuah foto lama yang
menggambarkan Bapak-Aku-Ibu berlatarkan pantai dengan ombaknya yang indah. Foto
itu diambil setahun sebelum kepergian Ibu. Ibu mengenakan dress putih selutut yang memiliki kerutan manis di pinggangnya,
tangan kanannya menggenggam tangan kecilku dan tangan kirinya memegangi topi
anyam di kepalanya agar tidak diterbangkan oleh angin, dan parasnya.. sungguh
sangat indah.
Rasanya aku benar-benar rindu denganmu, Ibu.
Sedang
apakah engkau di sana? Apakah engkau juga merindu seperti diriku?
Ataukah kau sedang tersenyum bahagia dalam balutan dress putihmu?
Oh, yang
mana pun itu tak masalah. Asal kau bahagia maka semuanya menjadi
tak mengapa, Ibu.
0 Komentar
Silahkan Kirim Tulisan Anda Baik Berupa Artikel, Opini, Cerpen, Dll ke
Email : lpmmetamorfos19@gmail.com