Lembaga Pers Mahasiswa Fakuktas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakrta - Bukan Sekedar Wacana


Cerita Tentang Tentara

Oleh : Afrizqi


   Pagi itu matahari bersinar hangat menembus di sela-sela dedaunan, matahari belum lagi tinggi saat aku, Senja, dan Supri duduk di teras rumah Pak Dai. Rumah berlantai keramik dengan motif cukup bagus itu berdiri di sudut utara dusun, berdampingan dengan rumah Kepala Dusun yang berada agak tinggi di sebelahnya. Dusun ini berada di dataran miring dengan tanah yang mulai terlihat retak karena kemarau panjang.
    Sementara itu si kecil Satria sudah berlari-lari dengan riang sambil ibunya terus memberinya makan saat ia berhenti. Sesekali ia seperti mengajak kami bermain tapi kami enggan menuruti kemauannya. Segelas kopi, singkong rebus dan rokok Dji Sam Soe yang disajikan Pak Dai cukup membuat kami betah duduk berlama-lama di teras itu. Beberapa saat kemudian Pak Dai keluar dari rumah. Ia mengenakan kaos oblong dengan celana pendek. Keriput diwajahnya cukup menunjukkan bahwa ia tak muda lagi, tapi semangatnya bekerja seakan ia masih muda. 
    Pak Dai mengambil posisi di samping kami, di sela jarinya masih terselip sebatang rokok. Tangannya kurus tapi terlihat kukuh dengan otot-otot yang menonjol terlihat dibalik kulitnya yang telah keriput. Sekali ia menyeruput teh, kemudian membuka obrolan ringan. Musim kemarau rupanya cukup membuat ia tak enak hati karena kami yang ditempatkan di sana selama dua bulan bertepatan dengan musim kemarau dan musim kemarau berarti pasokan air cukup terbatas.
  “kalau hujan turus air disini ndak kekurangan mas”, begitu tuturnya “tapi jalanan becek pasti males keluar-keluar”, sambungnya sambil terkekeh.
Kami hanya tersenyum menanggapi peryataan Pak Dai, ia kemudian bercerita bahwa kampungnya sering digunakan sebagai tempat latihan tentara. Beberapa kompi datang untuk melakukan simulasi penaganan teroris. Akses jalan ke kampung ditutup jika ada latihan. Warga melihat secara langsung latihan keras yang dilakukan oleh tentara.
Dusun itu memang masih sepi, tidak terlalu banyak rumah. Kontur tanah yang berupa perbukitan dengan pohon-pohon rindang mungkin memang tempat yang sesuai untuk latihan prajurit. Selain pohon-pohon jati, nangka, dan beberapa kayu bahan furnitur kebanyakan lahan disana ditanami padi dan palawija. Singkatnya kampung itu masih rimbun dan cukup ekslusif sebagai tempat latihan.
“Ada juga tentara perempuan mas”, tutur Pak Dai.
Latihan yang cukup keras terkadang membuat beliau iba. Ia menuturkan galaknya komandan yang melatih anak buahnya. Mereka tidak diijinkan menerima makanan atau minuman dari warga, tapi karena melihat tentara itu kelelahan kadang Pak Dai secara sembunyi-sembunyi memberi mereka minum dan menawarkan makanan ringan. Karena jika diketahui oleh komandan tentara itu akan dikenai sanksi.
Saya teringat kisah kedekatan warga pribumi dengan tentara pada masa-masa setelah kemerdekaan. Entah karena rasa kebangsaan yang tinggi atau panggilan kemanusiaan diceritakan seringkali warga memberi makan kepada tentara yang kelelahan karena bertempur melawan sekutu. Bagi saya begitulah seharusnya, tentara ada untuk melindungi warga, maka memeberi makan atau minum pada tentara adalah simbiosis yang saling menguntungkan.
Cerita berbeda justru datang dari tempat yang lain dimana tentara memukul warga dengan popor senapan karena konflik tanah. Tentara mewakili negara atau segelintir korporat, sementara warga mempertahankan tanah warisan leluhurnya. Pak Dai mungkin tidak tahu menahu soal cerita itu, atau menganggap itu adalah dua hal yang sama sekali berbeda. 
  Matahari semakin meninggi, Pak Dai menghabiskan sisa teh di gelasnya kemudian pamit meninggalkan kami untuk bekerja di ladang. Kami pun beranjak untuk melanjutkan rutinitas kami.


Posting Komentar

0 Komentar